Thursday, January 9, 2020

Blusukan Susteran Gedangan

Beralamat di jalan Ronggowarsito 8 Semarang, tempat ini sekarang menjadi komplek Suster-Suster St. Fransiskus (Kompleks Susteran Fransiskanes). Kalau ke sini sekitar 5-10 tahun yang lalu, tempat ini tidak ubahnya seperti bangunan kuno yang mangkrak, karena jalan raya di depannya langganan banjir. 
Akan tetapi kompleknya ini sendiri selalu indah. Walaupun terletak di daerah banjir, tapi ternyata sistem pengendalian banjir di dalamnya sudah terbilang cukup memadahi.

Sejarah komplek susteran ini, pada awalnya dibangun adalah sebagai rumah sakit. Dibangun oleh VOC sekitar tahun 1732. Hitung sendiri berapa tahun pada saat Anda baca blog ini :). 
Pada 1808 Pastor Lambertus Prinsen memprakarsai pendirian Rumah Yatim Piatu Katholik di Semarang. Dua puluh tahun kemudian, tanah tempat Rumah Sakit Tentara dibeli dan kemudian dipakai untuk susteran ketika sekelompok suster dari ordo Fransiskanes datang pada tahun 1870. Kompleks susteran ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda M.Nestman.
Kemudian tempat ini menjadi panti asuhan, dan kemudian terakhir menjadi komplek Suster-suster St. Fransiskus.

Konon batu bata di tempat ini, dibawa langsung dari Belanda. Mungkin waktu itu orang Belanda menilai orang lokal belum bisa membuat batu bata dengan kualitas seperti yang mereka mau. Membayangkannya saja sudah pusing. Bagaimana mereka unload dari pelabuhan dan membawanya ke tempat ini, dan membangunnya sampai menjadi bangunan megah. DAN BERDIRI KOKOH SAMPAI SEKARANG.

Yang mengagumkan dari tempat ini juga adalah, bahwa untuk mencuci pakaian dan setrika, masih menggunakan mesin yang sama yang digunakan sejak jaman Belanda. Bisa dilihat pada gambar-gambar di bawah. 
Mesin setrika yang digunakan di sini, khusus untuk seprei/baju yang tidak berkancing. Karena caranya dengan di-press, sehingga tidak bisa untuk menyetrika kain/baju yang ada kancing nya.

Menurut suster yang mengoperasikan mesin-mesin ini, kendala terbesar dari merawat mesin-mesin ini adalah saat harus mencari suku cadang jika ada kerusakan. 

















Wednesday, March 16, 2016

Ereveld Candi

Ereveld atau taman makam kehormatan Belanda, adalah taman makam yang diperuntukkan bagi prajurit atau orang Belanda yang gugur selama bertugas di Indonésia. Di Indonesia sendiri konon hanya ada 7 ereveld,dan Semarang punya 2 di antaranya.

Ereveld Candi adalah sebuah taman makam pahlawan khusus Belanda yang berada di atas bukit yang berada di Jl. Taman Jend. Soedirman No. 4, Bendungan, Gajahmungkur, SemarangJawa TengahIndonesia. Ereveld Candi merupakan salah satu dari 2 ereveld yang berada di Kota Semarang, selain Ereveld Kalibanteng.

Ereveld ini dibangun oleh perwira militer dari Brigade T ketika mendarat pada tanggal 12 Maret 1946. Di ereveld ini hanya dimakamkan prajurit Belanda yang telah tewas. Awalnya, tujuan pembangunan Ereveld Candi untuk semua prajurit yang tewas dalam Perang Kemerdekaan Indonesia di Jawa Tengah. Akhirnya, di sini dimakamkan juga prajurit yang telah tewas selama Perang Dunia II. Di sini terdapat lebih dari 1000 makam di ereveld ini.

Di sisi timur ereveld terdapat pendopo, yang di sini orang yang masuk mesti mendaftar. Sisi ini pula tempat terbaik untuk melihat seluruh makam dan juga perbukitan di Semarang Atas.

Friday, July 24, 2015

Gedong Songo temple

Gedong Songo (Indonesian: Candi Gedong Songo) is a Hindu temple located in Central Java, Indonesia. The site was originally built during early period of Medang Kingdom which controlled Central Java during the 8th and 9th centuries. Similar to Dieng Plateau, Gedong Songo was erected out of volcanic stone and the two complexes represent the oldest Hindu structures in Java. Dieng and Gedong Songo predate Borobudur and Prambanan. The temples of Gedong Songo reflect a similar architectural structure to the Dieng Plateau. However, Gedong Songo displays more emphasis on plinth and cornice moulding. At Temple 3, an entrance is outlined by a vestibule that is decorated by guardian figures.

Tuesday, May 12, 2015

Train history in Semarang

Semarang adalah satu-satunya kota besar di Jawa yang tidak dilayani Staatsspoorwegen (SS). Tapi sebaliknya dilayani oleh tiga perusahaan kereta api swasta terkemuka di masa itu: selain Nederlandsch-Indische Spoorwegmaatschappij (NIS) juga Samarang-Joana Stoomstram Maatschappij (SJS) dan Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS). SJS dengan jaringan sekitar 400 kilometer menghubungkan Semarang dengan Cepu dan Blora, melalui Demak dan Rembang. Selain itu SJS mengoperasikan trem kota Semarang Jomblang – Bulu. Sedang SCS dengan jaringan sekitar 230 kilometer menghubungkan Semarang dengan Cirebon, melalui Pekalongan dan Tegal. NIS sendiri kemudian memperluas jaringannya dengan membangun lintasan ke Surabaya melalui Brumbung, Gambringan, Cepu dan Bojonegoro dengan lebar sepur 1067 mm.

Keadaan Semarang itu, yang mirip situasi perkeretaapian di Paris memunculkan persoalan tersendiri. Ketiga perusahaan itu mempunyai jaringan terpisah yang tidak berhubungan, kecuali secara tidak langsung. Lebar sepur juga berbeda; 1435 mm (NIS jurusan Solo dan Yogya) dan 1067 mm (NIS jurusan Surabaya, SJS dan SCS). Keadaan ini cukup merepotkan, tidak hanya bagi penumpang tapi (terutama) untuk angkutan barang. Akibat jaringan yang terpisah, masing-masing perusahaan itu mempunyai stasiun yang terpisah pula. Tidak kurang dari lima stasiun kereta api pernah berdiri di Semarang (tidak termasuk halte trem Bulu-Jomblang).

STASIUN SEMARANG NIS (1867)

Stasiun pertama di Semarang (yang berarti juga pertama di Indonesia) adalah stasiun Semarang NIS yang terletak di Tambaksari, kelurahan Kemijen. Stasiun ini mulai dipakai bersamaan dengan beroperasinya kereta api Semarang - Tanggung pada 1867. Stasiun Samarang NIS adalah stasiun ujung (terminus, kopstation) berbentuk U. Satu sayap adalah gudang barang, sedang sayap yang lain stasiun penumpang.

Ada beberapa sumber yang menyebutkan stasiun pertama di Semarang adalah stasiun Kemijen. Sebenarnya NIS tidak pernah mempunyai stasiun yang bernama Stasiun Kemijen. Yang ada adalah halte Kemijen (SJS), yang terletak tidak jauh dari stasiun Samarang NIS. Halte Kemijen berada pada jalur Semarang – Demak. Ketika NIS ini dirobohkan untuk memasang rel menuju ke Tawang, sebagian stasiun Samarang NIS dirobohkan untuk memasang rel menuju ke Tawang, dengan hanya menyisakan gudang barang. Sekarang stasiun Samarang NIS dikenal sebagai stasiun Semarang Gudang.

STASIUN JURNATAN

Pada tahun 1882 SJS memulai pembangunan jalur kereta api dari Semarang ke Juana melalui Demak, Kudus dan Pati. Jalur SJS ini kemudian diperpanjang hingga ke Blora melalui dua rute: Semarang-Rembang-Blora dan Semarang-Purwodadi-Blora. Dari Blora pembangunan rel kemudian diteruskan sampai ke Cepu. Di Semarang SJS membangun stasiunnya di Joernatanweg (sekarang jalan Agus Salim). Karena pada waktu itu letak stasiun ini berada di tengah-tengah kota, maka disebut Central St ation.

Di jalan Bojong (yang ketika itu masih merupakan daerah pinggiran kota) banyak didapatkan rumah-rumah besar dengan kebun yang luas (dalam bahasa Belanda disebut landhuis). Pada awalnya stasiun Jurnatan hanyalah berupa bangunan kayu sederhana. Namun pada tahun 1913 stasiun kecil itu dibongkar dan digantikan oleh sebuah bangunan baru yang besar dan megah dengan konstruksi atap dari baja dan kaca. Meski stasiun Jurnatan berada di akhir jaringan SJS, bangunan baru itu tidak dirancang sebagai stasiun ujung (terminus atau kopstation) ttapi berupa stasiun paralel, yaitu dengan satu sisi memanjang sebagai pintu masuk utama sedangkan di sisi seberangnya terdapat peron-peron.

Mulai 1974 stasiun Jurnatan tidak difungsikan lagi dan semua kereta api jurusan Demak dialihakan ke stasiun Tawang. Tak lama kemudian seluruh jaringan kereta api eks SJS ditutup karena tidak mampu bersaing dengan moda transportasi darat lain. Stasiun Jurnatan sempat terlantar tetapi kemudian dimanfaatkan sebagai termnal bus antar kota. Tetapi ini juga tidak berlangsung lama dan pada awal tahun 1980-an bangunan stasiun Jurnatan dibongkar dan ditempatnya sekarang berdiri sebuah komplek pertokoan.

STASIUN PENDRIKAN

Stasiun Pendrkan adalah stasiun ketiga di Semarang, setelah stasiun Tambaksari dan stasiun Jurnatan. Stasiun ini dibangun oleh SCS, sebuah perusahaan swasta yang mendapat konsesi untuk membuka jalur kereta api dari semarang ke Cirebon. Stasiun Pendrikan telah ada sejak 1897 bersamaan dengan pembangunan jalur itu. Disebut stasiun Pendrikan karena terletak di kawasan Pendrikan Lor, di sebelah utara jalan Indrapasta sekarang, tidak jauh dari perempatan Jalan Indraprasta, Jalan Imam Bonjol dan Jalan Pierre Tendean yang ketika itu masih merupakan daerah pingiran kota.

Jalan kereta api Semarang – Cirebon melulalui Pekalongan dan Tegal disebut juga “jalur gula” (Suikerlijn) karen pembangunannya semula untuk melayani tidak kurang dari 27 pabrik gula yang berada di pantai utara Jawa Tengah bagian barat. Jalur ini tadinya hanya jalur rel ringan yang dibangun di sisi jalan raya. Karena konstruksi yang ringan kecepatan maksimum kereta api hanya 35 km/jam. Tetapi antara 1912-1921 jalur ini ditingkatkan sehingga kereta api yang lebih cepat dan berat bisa melintasinya. Sejak itu jalur ini menjadi bagian yang penting hubungan rel antara Jakarta (Batavia), Semarang dan Surabaya.

Stasiun Pendrikan berfungsi sampai 1914 ketika stasiun SCS yang baru di Poncol selesai dibangun dan mulai beroperasi. Namun meski digunakan cukup lama, stasiun Pendrikan sebenarnya tidak layak disebut sebagai stasiun dan lebih tepat disebut sebagai halte. Memang stasiun ini sejak semula tidak dirancang sebagai tempat naik dan turun penumpang. Para penumpang SCS mengawali dan mengkahiri perjalanan mereka di stasiun Jurnatan milik Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS).

Untuk mencapai stasiun Jurnatan kereta api SCS melalui jalur trem kota yang melintasi Bojong (Jalan Pemuda). Saat ini stasiun Pendrikan dan emplasemennya telah berubah menjadi daerah perumahan yang padat, sehingga tidak heran bahwa sedikit sekali warga Semarang yang tahu bahwa dulu di Pendrikan pernah ada stasiun kereta api.

STASIUN SEMARANG PONCOL

Pada 6 Agustus 1914 SCS resmi menggunakan stasiun baru di kawasan Poncol. Karena berada di pinggir barat kota Semarang stasiun itu disebut Semarang – West. Stasiun Semarang – West ini dirancang oleh Henry Maclaine – Pont yang antara lain juga merancang kampus ITB. Bagian tengah bangunan itu, yang sekaligus merupakan pintu masuk utama dihiasi dengan ubin berwarna hitam dan abu-abu. Pada panel di kiri dan kanan bangun terdapat tulisan SCS dan angka tahun 1914 terbuat dari ubin hitam dan keemasan. Sebuah jam berada di puncak bangunan. Sayang, semua ornamen itu sudah tidak ada lagi sehingga hilang pula keindahan bangunan itu. Ditambah lagi peron yang semula terbuka sekarang tertutup dinding sehingga kesan ringan bangunan hilang.

Meski berada pada ujung jalur Semarang – Cirebon, stasiun Semarang West berbentuk stasiun paralel. Sejak semula memang direncakan stasiun ini akan dihubungkan dengan stasiun yang baru di Tawang sebagai stasiun utama Semarang. Tapi baru pada 1940, setelah pecah Perang Dunia II, atas desakan pihak militer, rencana itu betul-betul menjadi kenyataan. Pihak militer melihat bahwa tidak adanya hubungan antara Semerang – West dan Tawang merupakan titik lemah dalam pertahanan pantai utara Jawa yang ketika itu terancam serbuan Jepang. Saat ini stasiun Semarang – West ini dinamakan stasiun Semarang Poncol yang merupakan stasiun pemberangkatan dan kedatangan untuk KA kelas ekonomi.

STASIUN SEMARANG TAWANG

Stasiun Tawang diresmikan penggunaannya pada 1 Juni 1914. Stasiun ini dibangun untuk menggantikan stasiun Samarang NIS di Tambaksari yang dianggap sudah tidak memadai lagi sekaligus menyambut Koloniale Tentoonstelling, pekan raya internasional untuk memperingati 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Spanyol yang diadakan di kota Semarang.

Stasiun ini adalah yang terakhir dibangun di Semarang sampai saat ini. Proses pembangunannya berlangsung sekitar tiga tahun. Rancangan bangunan ini dibuat oleh Ir. Sloth Blauwboer yang diperkirakan adalah staff NIS. Meski hasil rancangannya terkesan megah, arahan direksi NIS di Den Haag lebih menekankan pada bangunan yang fungsional.

Stasiun Tawang dirancang sebagai perhentian kereta api jurusan Solo dan Yogya melalui rel 1435 mm. Pada 1924 Tawang menjadi perhentian kereta api Surabaya melalui Brumbung, Gambringan dan Cepu denganlebar sepur 1067 mm. Untuk itu dibangun peron baru di utara peron sepur lebar.

Sampai sekarang stasiun besar Tawang masih berfungsi sebagai stasiun utama Semarang untuk pemberangkatan dan kedatangan KA kelas eksekutif dan bisnis. Setiap tahun tidak kurang dari 600.000 penumpang menggunakan stasiun ini.

Monday, May 4, 2015

Ex BAT Warehouse



A warehouse, ex BAT, still standing tall at Pengapon Street, Semarang. Located right in front of Pengapon Pertamina depo. Not far away from the old city of Semarang, or about 1,5-2 Km east from it.

This building possessed by the British American Tobacco (BAT), that's why people of Semarang call it by 'gudang BAT' or BAT warehouse. Then it bought by PT Sampoerna for tobacco/cigarrete warehouse. 

Only then, PT Sampoerna concentrate their mission more likely to educational sector, so then the building is abandoned until today. Sadly the inside part is now flooded by the tidal water, or, people of Semarang call it, 'rob'.This flood also happen in other part of Semarang, specially northern as Jl  Ronggowarsito, Raden Patah, and Kaligawe, with the depth around 30-60 cm high.

As this post written (5/4/15), rear part of this building rent by a pipe company.

Sunday, April 19, 2015

Katedral Randusari

The Cathedral of the Virgin Mary, Queen of the Holy Rosary (Indonesian: Gereja Katedral Perawan Maria Ratu Rosario Suci), also known as the Holy Rosary Cathedral or Randusari Cathedral is a Roman Catholic cathedral and the seat of the Archdiocese of Semarang. Finished in 1927 at Randusari, Semarang, Indonesia, it became a parish church in 1930 and a cathedral in 1940, when Albertus Soegijapranata was made the first apostolic vicar of Semarang.
The cathedral is located near Tugu Muda, in Randusari, Semarang. The Tugu Muda area, a Cultural Property of Indonesia, also includes Lawang Sewu, Mandala Bhakti Museum, and Bulu Market.

The cathedral complex includes the cathedral proper, a meeting hall, and school. In 2012 an official residence and office for the bishop was formalised. It contains a chapel, archive, secretariat, a garden, and general purpose room, as well as six rooms of residential space. It is the seat of the Archdiocese of Semarang.

The cathedral is built on a stone foundation, with a large, column-free congregation hall within. The roofs and arches have parapets, and the doors on the rectangular building face north, west, and south; the facade is to the west.

Thursday, April 16, 2015

Gereja St Joseph Gedangan Semarang

St. Joseph's Church (Indonesian: Gereja Santo Yosef), also known as Gedangan Church, is a Catholic church in Semarang, Indonesia, the first such church in the city. Administratively, it is part of the St. Joseph's Parish in the Archdiocese of Semarang.

Constructed between 1870 to 1875 to meet the needs of Semarang's growing Catholic population, the red-brick church building was designed by the Dutch architect W. I. van Bakel and built at a cost of 110,000 gulden. The church grew extensively over the following fifty years, at first dominated by ethnic Europeans and persons of mixed descent but later having a majority indigenous congregation. As the Catholic population grew, the size of the parish diminished as new ones were established.

The church complex consists of, among other things, the church building, a presbytery, and a convent. St. Joseph's itself is highly decorated, including nineteen stained glass windows (including three dedicated to church's patron saint, Joseph), carvings showing the fourteen Stations of the Cross, and an altar imported from Germany. The single tower is home to two bells produced by Petit & Fritsen.